Pengantar Ekonomi
Beberapa pilihan kebijakan untuk mengurangi jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan di antaranya adalah peraturan upah minimum, memberikan tambahan pendapatan secara langsung, pajak pendapatan negatif, transfer rupah-rupa, dan insentif kerja.
Seperti baru saja kita bahas, para filsuf politik memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang peran pemerintah dalam mengubah distribusi pendapatan. Ketidaksepakatan tersebut juga dapat kita lihat dari luasnya perdebatan politik di kalangan para pencari dukungan publik yang biasanya mencuat pada masa kampanye pemilu.
Namun, terlepas dari terus berlangsungnya perdebatan itu, sebagian besar orang berpendapat bahwa paling tidak pemerintah memang harus berusaha untuk mengubah nasib para anggota masyarakat yang paling tidak beruntung. Dalam istilahnya yang paling populer, pemerintah harus berusaha menciptakan suatu “jaring pengaman” untuk mencegah seseorang menjadi terlalu miskin atau terlalu menderita.
Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang paling sulit yang dihadapi oleh para pembuat kebijakan. Secara umum, orang-orang miskin itu biasanya lebih rentan terhadap berbagai penyakit sosial, mulai dari gaya hidup menggelandang yang kurang manusiawi, ketergantungan obat bius, kekerasan rumah tangga, masalah-masalah kesehatan, kehamilan remaja di luar nikah, buta huruf, pengangguran, dan prestasi pendidikan yang rendah.
Anggota keluarga miskin biasanya memiliki kemungkinan lebih besar untuk melakukan tindakan kriminal, dan mereka juga lebih rapuh sehingga lebih mudah menjadi korban kriminalitas. Meskipun sulit untuk memisahkan rangkaian sebab dan akibat kemiskinan, tidak bisa dibantah bahwa kemiskinan senantiasa terkait erat dengan berbagai penyakit ekonomi dan sosial.
Andaikan saja Anda sekarang ini adalah pembuat kebijakan di pemerintahan, dan Anda berniat mengurangi jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan. Kira-kira apa cara yang akan Anda tempuh untuk mencapai tujuan tersebut? Berikut ini kita akan menelaah beberapa pilihan kebijakan yang dapat Anda pertimbangkan.
Sebagaimana akan kita lihat, meskipun masing-masing dari pilihan-pilihan ini dapat membantu sebagian orang melepaskan diri dari kemiskinan, namun tidak ada pilihan yang sempurna, dan memutuskan mana pilihan yang terbaik juga bukan merupakan urusan yang mudah.
Tujuan kebijakan untuk mengatur tingkat upah minimum ini tidak pernah lepas dari perdebatan. Para pendukungnya melihat peraturan seperti ini sebagai cara yang baik untuk membantu para pekerja yang miskin tanpa membebankan biaya apa pun bagi pemerintah. Namun, para pengkritiknya melihatnya sebagai sesuatu yang negatif, karena lebih banyak menimbulkan kerugian bagi orang-orang yang justru hendak dibantu.
Hakikat peraturan upah minimum ini dapat kita pahami secara mudah dengan menggunakan perangkat-perangkat penawaran dan permintaan yang telah kita pelajari dalam Bab 6. Bagi para pekerja yang tingkat kecakapan, pendidikan atau pengalamannya rendah, pemberlakuan upah minimum yang relatif tinggi akan mendorong tingkat upah melampaui tingkatan yang dapat menyeimbangkan penawaran dan permintaan. Dengan demikian, peraturan ini akan memperbesar biaya tenaga kerja bagi pihak perusahaan dan pada gilirannya akan menurunkan permintaan tenaga kerja dari perusahaan-perusahaan tersebut. Pada akhirnya, pengangguran pun akan meningkat. Jadi, sementara di satu sisi orang-orang berkecakapan dan berpengalaman rendah yang beruntung sudah memiliki pekerjaan akan diuntungkan oleh peraturan upah minimum tersebut, di sisi lain rekan-rekan mereka yang belum mendapat pekerjaan justru akan dirugikan karena akan sangat sulit memperoleh pekerjaan. Di sini kita sudah dapat melihat bahwa peraturan upah minimum itu justru dapat merugikan para pekerja yang hendak dibantu.
Besar-kecilnya dampak negatif sampingan itu sendiri tergantung pada elastisitas permintaan tenaga kerja yang ada. Para pendukung pemberlakuan peraturan upah minimum berpendapat bahwa permintaan tenaga kerja yang tingkat keahlian dan pengalamannya rendah itu relatif inelastis, sehingga penerapan upah minimum yang relatif tinggi hanya akan sedikit saja mengurangi penyerapan tenaga kerja. Sebaliknya, para penentang pemberlakuan upah minimum berpendapat bahwa permintaan tenaga kerja berkecakapan rendah itu relatif elastis, terutama dalam jangka panjang ketika perusahaan-perusahaan dapat melakukan penyesuaian produksi sehingga mereka dapat mengatur penggunaan tenaga kerja secara lebih leluasa. Para penentang pemberlakuan upah minimum juga menyatakan bahwa dalam kenyataannya para pekerja yang menerima upah minimum itu umumnya adalah para remaja dari kalangan atau keluarga dari kelas menengah, sehingga pemberlakuan ketentuan upah minimum itu tidak mengenai sasarannya, yakni membantu kalangan miskin.
Cara lain yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk meningkatkan standar hidup kalangan miskin adalah dengan memberikan pendapatan tambahan secara langsung. Langkah yang paling lazim ditempuh oleh pemerintah dalam melaksanakan cara ini adalah dengan memberlakukan sistem kesejahteraan. Istilah kesejahteraan (welfare) ini mengacu pada berbagai bentuk program bantuan pemerintah kepada warganya. Di AS, contoh yang menonjol adalah program Bantuan untuk Keluarga dengan Tanggungan Anak (Aid to Families with Dependent Children, AFDC), yakni suatu program yang khusus diberikan kepada keluarga-keluarga yang memiliki anak namun tidak cukup memiliki pendapatan untuk menghidupi mereka. Biasanya, keluarga yang mendapat bantuan adalah keluarga yang tidak memiliki kepala keluarga (ayah) yang mencari nafkah tetap, sedangkan sang ibu harus menghabiskan waktunya setiap hari untuk mengasuh anak-anaknya yang masih kecil. Contoh berikutnya dari program kesejahteraan adalah program Tunjangan Tambahan Pendapatan (Suplemental Security Income, SSI), yang khusus memberikan bantuan kepada kalangan miskin yang sakit atau menyandang cacat. Perhatikanlah bahwa pada kedua program ini, seseorang tidak akan dapat memperoleh bantuan tersebut semata-mata karena ia miskin atau memiliki pendapatan rendah. Ia harus memiliki karakteristik tertentu seperti memiliki anak yang penghidupannya tidak dapat ia tanggung sendiri, atau cacat fisik yang tidak memungkinkannya untuk berusaha meningkatkan taraf hidupnya sendiri.
Kritik yang paling sering dilontarkan terhadap program-program kesejahteraan seperti ini adalah program-program bantuan itu mendorong orang-orang menjadi “kaum yang membutuhkan uluaran tangan”. Ada suatu program bantuan yang hanya diberikan untuk keluarga yang tidak memiliki ayah atau kepala keluarga pencari nafkah. Dalam situasi tertentu, adanya program ini justru mendorong pasangan suami istri miskin untuk bercerai. Daripada memiliki suami pengangguran atau miskin, istri akan terdorong untuk menceraikan suaminya itu agar dapat memperoleh bantuan pemerintah tersebut. Program ini juga dituduh cenderung mendorong kelahiran di luar nikah, karena wanita tidak menikah yang memiliki anak berhak mendapatkan program bantuan tersebut. Itu berarti program yang semula dimaksudkan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin justru memperbanyak jumlah wanita tidak menikah untuk memiliki anak, yang notabene adalah bagian terbesar penduduk miskin. Dalam kalimat lain, program tersebut justru menciptakan masalah yang hendak diatasinya.
Sejauh manakah kelemahan atau masalah yang terkandung dalam sistem kesejahteraan itu? Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya secara pasti. Namun, para pendukung sistem kesejahteraan menyatakan bahwa kecaman terhadap sistem itu terlalu berlebihan. Sebagai contoh, tuduhan bahwa program itu menciptakan lebih banyak wanita miskin dengan anak tanpa nikah terlalu berlebihan, karena kondisi seperti itu jelas bukan merupakan pilihan yang menarik bagi wanita mana pun. Tuduhan bahwa sistem kesejahteraan mengancam pola keluarga pasangan suami istri menikah juga tidak bisa diterima, karena banyak faktor lain yang turut berpengaruh sehingga sistem kesejahteraan tidak bisa dinyatakan sebagai penyebab berkurangnya keluarga yang mempunyai pasangan suami-istri lengkap. Buktinya, sejak awal dekade 1970-an nilai tunjangan kesejahteraan telah mengalami penurunan, namun persentase anak-anak yang hidup dengan orang tua tunggal justru melonjak.
Seandainya pemerintah memutuskan untuk menerapkan suatu pajak baru, maka hal tersebut jelas akan mempengaruhi distribusi pendapatan. Hal ini terutama berlaku jika pajak yang diterapkan itu adalah pajak pendapatan progresif, yakni keluarga-keluarga berpenghasilan tinggi diminta membayar dalam persentase yang lebih besar dari pendapatan mereka ketimbang keluarga-keluarga yang berpendapatan rendah.
Banyak ekonom mengajurkan agar pemerintah menerapkan suatu sistem pajak khusus demi membantu kalangan miskin. Pajak seperti itu disebut sebagai pajak pendapatan negatif (negative income tax). Menurut metode ini, setiap keluarga diminta melaporkan pendapatan mereka kepada pemerintah. Keluarga-keluarga berpenghasilan tinggi diwajibkan membayar pajak yang besar-kecilnya disesuaikan dengan pendapatan mereka. Sedangkan bagi keluarga-keluarga yang berpenghasilan rendah, mereka bukan hanya tidak perlu membayar pajak pendapatan, melainkan justru akan menerima subsidi. Dalam kalimat lain, mereka “membayar” suatu “pajak negatif”.
Sebagai contoh umpamakan saja pemerintah menggunakan rumusan berikut ini untuk menghitung kewajiban pajak dari setiap keluarga:
Kewajiban pajak = (1/3 pendapatan) - $10.000
Dalam kasus ini, suatu keluarga yang memiliki penghasilan sebesar $60.000 per tahun akan membayar pajak sebesar $10.000, sedangkan keluarga yang memiliki penghasilan $90.000 ribu per tahun akn membayar pajak sebanyak $20.000. Keluarga yang hanya memiliki penghasilan $30.000 per tahun tidak akan membayar pajak sama sekali, sedangkan keluarga yang hanya memperoleh $15.000 per tahun harus “membayar” minus $5.000. Dalam kalimat lain, pemerintah akan memberi keluarga ini tunjangan langsung sebesar $5.000.
Dengan adanya pajak pendapatan negatif tersebut, keluarga-keluarga miskin dapat menerima bantuan keuangan tanpa harus merengek-rengek membuktikan bahwa mereka sangat membutuhkannya. Salah-satunya persyaratan yang diperlukan untuk menerima bantuan tersebut adalah pendapatan yang rendah. Hal ini bisa dipandang menguntungkan, namun bisa pula dipandang merugikan, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Pada satu sisi pemberlakuan pajak pendapatan negatif tidak akan mendorong melahirkan di luar nikah atau perpecahan keluarga dan perceraian, sebagaimana dikhawatirkan oleh para pengkritik sistem kesejahteraan yang saat ini berlaku di AS. Namun di sisi lain, pajak pendapatan negatif juga dapat memberikan subsidi kepada mereka yang miskin semata-mata karena malas dan di mata banyak orang tidak pantas menerima tunjangan/bantuan pemerintah.
Salah satu kebijakan pajak yang saat ini sedang berlaku yang mirip dengan pajak pendapatan negatif adalah Kredit Pajak Pendapatan yang Diperoleh (Earned Income Tax Credit, EITC). Kredit pajak ini memungkinkan keluarga-keluarga pekerja yang miskin menerima pengembalian pajak pendapatan dari pemerintah yang jumlahnya lebih besar dari jumlah pajak yang mereka bayarkan. Karena kredit pajak pendapatan yang diperoleh ini hanya berlaku untuk mereka yang benar-benar bekerja namun tetap miskin, maka kebijakan ini tidak akan mengurangi semangat orang untuk bekerja seperti yang dikhawatirkan akan terjadi di bawah kebijakan-kebijakan pengentasan kemiskinan lainnya pada umumnya.. Namun kebijakan ini pun juga ada kelemahannya, yakni tidak dapat membantu orang-orang yang miskin karena memang tidak dapat memperoleh pekerjaan, menyandang cacat, menderita sakit permanen, atau berbagai masalah lainnya yang memang tidak memungkinkan mereka untuk bekerja secara normal.
Cara lain untuk membantu kalangan miskin adalah dengan memberi mereka secara langsung berbagai jenis barang dan jasa yang mereka perlukan demi meningkatkan standar hidup mereka. Sebagai contoh program-program derma yang menyediakan bahan pangan, penyelenggaran tempat penampungan bagi kaum fakir, atau pembagian mainan anak-anak pada hari natal untuk anak-anak miskin. Pemerintah federal memberi bantuan pangan (food stamp), yakni berupa kupon-kupon yang dapat ditukarkan dengan bahan pangan di toko-toko tertentu. Toko itu kemudian dapat menukarkan kupon tersebut dengan uang tunai di lembaga-lembaga yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Tunjangan federal juga memberikan tunjangan kesehatan kepada kalangan miskin melalui suatu program yang disebut Medicaid.
Mana yang lebih baik, membantu kalangan miskin dengan secara langsung memberikan apa yang mereka perlukan melalui transfer rupa-rupa (in-kind transfer), ataukah memberi mereka uang tunai? Tidak ada jawaban yang pasti untuk pertanyaan ini.
Para pendukung transfer rupa-rupa menyatakan bahwa transfer itu menjamin kalangan miskin menerima apa yang paling mereka butuhkan. Selain itu cara ini juga mengatasi persoalan, yakni kalangan miskin acap kali menyalahgunakan bantuan uang yang mereka terima, misalnya dengan membeli minuman keras, mengingat konsumsi minuman keras di kalangan miskin ternyata jauh lebih tinggi daripada yang ada di lapisan masyarakat lainnya, atau bahkan obat terlarang. Dengan memberi langsung bahan pangan atau penampungan, masyarakat dapat lebih memastikan bantuan yang diberikan kepada kalangan miskin tidak akan disalahgunakan yang pada akhirnya hanya merugikan diri mereka sendiri. Alasan inilah yang merupakan penyebab utama mengapa program transfer rupa-rupa secara politik lebih populer ketimbang program bantuan yang memberikan uang tunai kepada kalangan miskin.
Namun, para pendukung program bantuan berupa uang tunai menyatakan bahwa transfer rupa-rupa itu sebenarnya kurang efisien, dan kurang menghargai martabat kalangan miskin itu sendiri. Lagi pula pemerintah sebenarnya tidak pernah mengetahui secara pasti barang-barang dan jasa apa saja yang paling diperlukan oleh kalangan miskin. Pada dasarnya orang-orang miskin itu sama saja dengan anggota masyarakat lainnya, hanya saja mereka kurang beruntung dalam soal pendapatan. Meskipun kurang beruntung, mereka tetap yang paling berhak untuk menentukan cara meningkatkan harkat dan standar kehidupan mereka sendiri. Dengan demikian, daripada memberikan barang atau jasa tertentu yang mungkin saja tidak sesuai dengan kebutuhan kalangan miskin, akan lebih baik jika pemerintah memberi mereka uang tunai dan membiarkan mereka menentukan sendiri hal-hal apa yang sesungguhnya paling mereka perlukan.
Meskipun tujuannya baik, banyak kebijakan pengentasan kemiskinan ternyata menimbulkan dampak sampingan yang tidak diharapkan, antara lain melemahkan semangat orang-orang miskin itu untuk berjuang dalam memperbaiki nasib. Untuk memahami masalah ini secara lebih baik, simaklah contoh berikut ini.
Seandainya saja ada sebuah keluarga yang memerlukan pendapatan sebesar $15.000 per tahun guna menikmati suatu standar hidup yang cukup memadai. Lalu umpamakan pula, karena ingin menghapuskan kemiskinan, pemerintah lalu menjamin bahwa setiap keluarga akan memperoleh pendapatan sebanyak itu. Berapa pun jumlah penghasilan yang diterima setiap keluarga miskin, pemerintah akan menombokinya sehingga berjumlah $15.000 per tahun. Kira-kira dampak apa yang akan ditimbulkan oleh kebijakan seperti ini?
Jelas bahwa kebijakan tersebut akan merusak motivasi. Setiap keluarga yang penghasilannya tidak mencapai $15.000 tidak akan memiliki motivasi apa-apa untuk memperbesar penghasilannya, karena mereka mengetahui karena pemerintahlah yang akan menomboki. Mereka juga tidak melihat kegunaan bekerja lebih keras, karena jika mereka memperoleh pendapatan lebih besar, tunjangan yang diberikan pemerintah dengan sendirinya akan berkurang atau bahkan hilang. Dalam kalimat lain, pemerintah akan mengenakan pajak sebesar 100 persen terhadap setiap tambahan penghasilan berupa bantuan yang akan mereka terima. Akibat adanya tingkat pajak marjinal efektif sebesar 100 persen itu, maka jelaslah bahwa kebijakan seperti itu menimbulkan beban baku yang sangat besar.
Lebih jauh dari itu, dampak negatif tersebut biasanya akan bertahan lama. Orang-orang tidak akan berminat untuk mengikuti latihan kerja atau memanfaatkan berbagai kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya, karena ia merasa semua itu tidak ada gunanya. Pengaruh negatif ini juga akan menular kepada anak-anak mereka yang menyaksikan sendiri orang tuanya tidak mau menekuni pekerjaan yang lebih baik. Jika orang tuanya bekerja paruh waktu, mereka tidak akan tergerak untuk mencari pekerjaan tetap. Pada saat mereka dewasa anak-anak itu juga mungkin mencari pekerjaan paruh waktu dan tidak mau bersusah-payah mencari pekerjaan tetap yang lebih baik.
Program pengentasan kemiskinan ini memang hanya pengandaian, namun sampai batas tertentu hal itu bisa saja terjadi. Kesejahteraan, Medicaid, bantuan pangan, dan Kredit Pajak Pendapatan yang Diperoleh semuanya merupakan program yang dimaksudkan untuk membantu kalangan miskin, dan semuanya terkait dengan pendapatan keluarga-keluarga miskin tersebut. Pada saat pendapatan suatu keluarga meningkat, maka keluarga itu akan kehilangan sebagian tunjangan yang sebelumnya ia peroleh. Pada saat semua program tunjangan itu terhapus, maka keluarga yang bersangkutan harus menghadapi tingkat pajak marjinal efektif yang sangat tinggi. Adakalanya tingkat pajak marjinal efektif tersebut melampaui 100 persen, sehingga keluarga-kelaurga miskin tersebut justru mengalami penurunan kesejahteraan meskipun penghasilannya telah meningkat. Karena alasan itulah banyak keluarga miskin penerima tunjangan yang tidak berusaha memperoleh pendapatan sendiri yang lebih besar, karena mereka khawatir akan kehilangan tunjangan yang pada akhirnya akan menurunkan kesejahteraan mereka. Itu berarti bahwa, nilai baik pemerintah dengan mengadakan berbagai program pengentasan kemiskinan justru menyurutkan semangant keluarga-keluarga miskin untuk bekerja lebih keras. Menurut para penentang program pengentasan kemiskinan, adanya program-program seperti itu justru mengubah sikap terhadap pekerjaan secara negatif, dan menciptakan suatu “budaya kemiskinan”.
Sepintas lalu kita mungkin akan tergoda untuk mengajukan usualan sederhana untuk mengatasi persoalan tersebut, yakni segera kurangi saja tunjangan-tunjangan kepada keluarga miskin secara bertahap seiring dengan meningkatnya pendapatan mereka sendiri. Sebagai contoh, jika sebuah keluarga miskin memperoleh $1 pendapatan lebih banyak, maka tunjangan kesejahteraan perlu dikurangi sebanyak 30 sen, sehingga keluarga itu hanya menghadapi tingkat pajak marjinal efektif sebesar 30 persen. Pajak efektif sebesar itu mungkin saja mengurangi semangat kerja sampai batas tertentu, namun hal itu tidak akan menghilangkan sama sekali motivasi untuk bekerja lebih keras.
Namun masalahnya, solusi seperti ini akan melipatgandakan biaya program-program pengentasan kemiskinan yang harus dipikul oleh pemerintah. Apabila tunjangan tersebut harus dihapuskan secara bertahap seiring dengan bertambahnya pendapatan keluarga-keluarga miskin, maka keluarga-keluarga yang berada di atas garis kemiskinan juga akan berhak memperoleh tunjangan yang cukup besar. Semakin banyak tahapan yang harus dilalui, akan semakin banyak pula keluarga yang terhitung berhak memperoleh tunjangan, sehingga dengan sendirinya biaya program pengentasan kemiskinan yang harus dipikul pemerintah menjadi semakin besar. Dengan demikian, para pembuat kebijakan menghadapi suatu dilema yang saling bertolak belakang antara pembebanan tingkat pajak marjinal efektif yang tinggi kepada kalangan miskin dan pembebanan biaya ekstra kepada para pembayar pajak guna membiayai program-program pengentasan kemiskinan yang semakin mahal itu.
Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk mengurangi kecenderungan kemalasan bekerja yang ditimbulkan oleh program-program pengentasan kemiskinan. Salah satunya dengan mewajibkan orang-orang yang mendapatkan tunjangan untuk menerima pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah – sebuah sistem yang disebut workfare. Cara lain adalah menyediakan tunjangan untuk jangka waktu yang terbatas. Cara ini pernah ditempuh pada undang-undang reformasi kesejahteraan tahun 1966 di Amerika. Tingkat penurunan kemiskinan di akhir ’90-an menjadi pendorong diterapkannya kebijakan ini. Para pengkritik kebijakan ini memandang penerapan batas waktu tunjangan tidak seharusnya dilakukan dan bahwa penurunan tingkat kemiskinan di akhir ’90-an lebih disebabkan oleh kuatnya perekonomian daripada reformasi kesejahteraan.
Tulisan dalam artikel ini merupakan ringkasan penulis dari buku Pengantar Ekonomi (judul asli Principles of Economics), Edisi Kedua, Jilid 1, karya N. Gregory Mankiw dan diterjemahkan oleh Haris Munandar; Editor oleh Wisnu Chandra Kristiaji. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Erlangga pada tahun 2003.
Life is like a camera. Just focus on what’s important, capture the good times, develop from the negatives, and if things don’t work out, just take another shot.
Unknown